KONTAN.CO.ID - Pemerintah mengaku optimis penurunan tarif resiprokal masih dapat berlanjut. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Menteri Koordinator Perekonomian (Sesmenko Perekonomian) Susiwijono Moegiarso dalam acara UOB Media Editors Circle bertema “Navigating Regulation Shits and Market Uncertainties in Indonesia and ASEAN” di UOB Plaza Penthouse, Jakarta pada Selasa, 22 Juli 2025.
Indonesia masih dapat kelonggaran dari Amerika Serikat. Rencananya minggu ini negosiasi akan berlanjut. Susiwijono menjelaskan, pemerintah sudah menyiapkan data dan penawaran agar tarif resiprokal turun.
“Karena minggu ini masih negosiasi lanjutan, sehingga sebelum mengeluarkan down site bersama. Indonesia masih dalam tarif yang lama,” jelas Susiwijono.
Susiwijono menegaskan, pemerintah akan terus mengoptimalkan berbagai strategi agar tarif resiprokal turun supaya produk Indonesia dapat bersaing secara global. Namun, tarif resiprokal 19% tentu patut diapresiasi juga karena lebih rendah dari negara lainnya.
“Kita sepakat kalau tarif resiprokal memberikan tarif 0%. Jadi, harus dibawahi dengan membuat trade deal dengan Amerika tidak akan mengkhawatirkan produk lokal asalkan produk yang dijual tidak berkompetisi dengan produk dalam negeri,” tambah Susiwijono.
Lebih lanjut, tarif resiprokal sudah jelas bagi semua negara. Akan tetapi, Indonesia masih mempelajari implementasinya agar tidak berdampak negatif lebih besar bagi perekonomian negara. Susiwijono mengatakan, secara indikator makro, sektor keuangan perlu diperkuat seperti dana pihak ketiga (DPK) dan skema investasi dari sektor perbankan.
Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK dapat menjadi peluang bagi sektor perbankan untuk mendukung industri ekonomi nasional. Susiwijono menyebut, sudah ada investor besar dari Tiongkok di Jawa Tengah.
Sektor perbankan menanggapi positif usulan tersebut. Head of Corporate Banking UOB Indonesia Edwin Kadir menjelaskan, UOB mendukung pemerintah dalam mendorong penurunan tarif resiprokal. Tak hanya itu, Indonesia punya banyak potensi dalam mengembangkan komoditas dan industri dalam negeri sebagai langkah membuka market baru selain Amerika Serikat. Hilirisasi yang sudah berjalan menjadi peluang bagi sektor perbankan dalam memberikan kredit bagi pelaku usaha.
Akan tetapi, UOB Indonesia akan terus menganalisa bagaimana dampak tarif resiprokal bagi ekonomi Indonesia. Terlebih, likuiditas perbankan juga mengalami tekanan. Loan to Deposit Ratio (LDR) beberapa bank BUMN sudah mencapai 100%. Hal itu menandakan likuiditas dari bank yang tipis dan penyaluran kredit baru semakin terbatas.
“Dana pihak ketiga (DPK) punya tantangan dari sisi likuiditas. Saat harga turun pemasukan dari dolar juga ikut turun,” ungkap Edwin.
Ia tidak menampik Indonesia memiliki banyak potensi, mulai dari sumber daya alam dan manusia. Oleh karena itu, Edwin berharap pemerintah dapat mendorong industri lokal berkembang agar produk yang dijual memiliki nilai tambah.
“Industri kita masih bergantung sama komoditas. Mungkin akan berdampak juga pada rupiah. Kalau ekspornya sulit, Indonesia akan susah mendapat pemasukan dari dolar,” sambung Edwin.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Analisis Kebijakan Makro-Mikro Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aviliani mengatakan, perlu adanya solusi tarif resiprokal agar usaha lokal tidak mengalami penurunan. Salah satunya dengan membuat integrasi antara industri besar dan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Strategi tersebut dapat menjadi solusi agar UMKM naik kelas karena sistem rantai pasok yang saling menguntungkan.
Jadi, industri besar tidak perlu mengimpor bahan baku dan mudah mencarinya di dalam negeri. Hal ini juga perlu didukung pemerintah melalui insentif. Jika sistem ini berjalan, industri turut membuka lapangan pekerjaan baru kepada masyarakat. “Sudah ada beberapa industri besar menggunakan cara ini,” jelas Aviliani.
Selain itu, tarif resiprokal memungkinkan Tiongkok memindahkan produknya ke Indonesia karena harga yang tinggi di Amerika Serikat. Al hasil produk Indonesia juga ikut tertekan oleh produk Tiongkok.
Hal ini harus ditanggapi serius pemerintah agar usaha lokal dapat terus berkembang. “Menurut saya, tarif resiprokal harus diperhatikan pemerintah karena dampaknya tidak langsung dirasakan oleh Indonesia. Tapi mungkin negara lain akan memanfaatkan Indonesia untuk membuang barang,” ungkap Aviliani.
Selanjutnya: Jadwal VNL Women dan H2H Polandia vs China, Kans Balas Dendam Negeri Tirai Bambu
Menarik Dibaca: IHSG Naik 0,7% di Akhir Sesi I, Saham DCII Sumbang Separuh Kekuatan Indeks
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Editor: Indah Sulistyorini