KONTAN.CO.ID - Ketangguhan kebijakan fiskal kembali diuji dengan terpaan isu penolakan atas penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai. Berdasarkan amanat Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), paling lambat 1 Januari 2025, berlaku tarif PPN 12%. Penyesuaian tarif PPN ini bukanlah yang pertama kali. Sesuai dengan UU HPP pula, kita juga mengalami penyesuaian tarif menjadi 11% pada April 2022 yang lalu.
Karena ini amanat UU, tentu sudah melalui proses demokratis dengan persetujuan antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif). Hampir seluruh fraksi –kecuali Fraksi PKS– menyatakan setuju dengan RUU HPP, termasuk soal penyesuaian tarif PPN secara bertahap.
Dalam konsiderans-nya, UU HPP disusun berdasarkan pada asas keadilan, asas kesederhanaan dan efisiensi, serta asas kepentingan nasional sebagai wujud kegotongroyongan seluruh elemen bangsa. Tujuan bergulirnya UU HPP adalah, pertama, untuk mengungkit pertumbuhan dan mendorong percepatan pemulihan perekonomian pasca-pandemi Covid-19; kedua, menciptakan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum; ketiga, melaksanakan reformasi administrasi serta kebijakan perpajakan yang konsolidatif, serta memperluas basis pajak; keempat, meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak; dan kelima, mengoptimalkan penerimaan negara.
Dengan rata-rata tarif PPN di berbagai negara yang berkisar hampir 16%, tentu pemerintah bersama DPR telah mempertimbangkan secara matang bahwa penyesuaian tarif PPN masih berada di kisaran yang kompetitif. Di samping itu, selain untuk mengisi pundi penerimaan negara, penyesuaian tarif tersebut juga telah mempertimbangkan kondisi pemulihan perekonomian pasca-pandemi Covid-19.
Fungsi Kebijakan Pajak
Kebijakan fiskal bukan sekadar rumusan angka-angka ribuan triliun rupiah. Di balik lima belas digit angka itu, terdapat 282 juta jiwa penduduk yang menggantungkan harapan demi kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup. Oleh karena itu, ramuan kebijakan publik tersebut tentunya memenuhi fungsi-fungsi sebagai berikut.
Pertama, fungsi distribusi. Dengan prinsip keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat, UU HPP mengatur perluasan lapisan penghasilan kena pajak orang pribadi. Lapisan paling bawah penghasilan kena pajak yang semula Rp50 juta setahun, dikatrol menjadi Rp60 juta setahun untuk tarif terendah PPh 5%. Artinya, seseorang dengan rata-rata penghasilan bersih di bawah Rp5 juta sebulan tidak dikenakan PPh. Selain itu, orang pribadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memiliki omzet di bawah Rp500 juta dalam setahun, juga tidak dikenakan PPh. Selebihnya, omzet Rp500 juta ke atas sampai dengan Rp4,8 miliar setahun, hanya dikenakan PPh Final UMKM 0,5% sesuai ketentuan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, berlaku masa penggunaan tarif PPh Final UMKM 0,5% tersebut. Pembatasan penggunaan tarif tersebut tujuh tahun untuk orang pribadi; empat tahun untuk badan berbentuk koperasi, CV, firma, badan usaha milik desa, dan perseroan perorangan; serta tiga tahun untuk badan berbentuk perseroan terbatas.
Artinya, penggunaan tarif PPh Final UMKM 0,5% sesuai PP 23/2018 untuk orang pribadi yang terdaftar 2018 dan sebelumnya, akan berakhir mulai 2025. Dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, Pemerintah bakal memperpanjang penggunaan PPh Final 0,5% tersebut hingga akhir 2025.
Kedua, fungsi stabilisasi. Guna menjaga daya beli, pemerintah tetap memberikan beragam fasilitas PPN agar masyarakat mudah mengakses barang/jasa yang dibutuhkan tanpa dikenakan PPN. Barang/jasa tersebut antara lain kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, susu, telur, buah-buahan, dan sayur-sayuran; jasa pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, keuangan, asuransi, pendidikan, transportasi umum, dan ketenagakerjaan; buku pengetahuan umum, vaksin polio, rumah sederhana dan rumah sangat sederhana; mesin dan peralatan pabrik serta fasilitas PPN di kawasan ekonomi tertentu.
Dan ketiga, fungsi alokasi berdasarkan asas kegotongroyongan. Penyesuaian tarif PPN diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan pemulihan ekonomi. Selain itu, diperkenalkan lapisan baru tarif PPh tertinggi 35% untuk penghasilan kena pajak orang pribadi di atas Rp5 miliar.
Hasil yang Dirasakan
Tampaknya penyesuaian tarif PPN menjadi 11% sejak April 2022 yang lalu tidak berdampak negatif terhadap geliat perekonomian. Alih-alih lesu, roda perekonomian tetap melaju. Menurut data Bank Indonesia, tahun ini indeks penjualan riil tetap tumbuh positif (1,7 pada November) serta indeks kepercayaan konsumen kembali terangkat (124,4 pada November).
Badan Pusat Statistik juga mencatat bahwa konsumsi rumah tangga juga tumbuh dan stabil. Dengan tren inflasi yang terkendali, dibarengi peningkatan mobilitas dan permintaan masyarakat, konsumsi rumah tangga diproyeksikan tumbuh 4,9% dengan menyentuh angka Rp12.000 triliun.
Menurut paparan Kementerian Keuangan pada jumpa pers (16 Desember), kondisi pasar tenaga kerja kian bertumbuh pasca-berlakunya tarif PPN 11%. Pada 2022, terdapat peningkatan 4,2 juta pekerja (tumbuh 3,2%). Setelahnya, pada 2023-2024 diprediksi rata-rata kenaikan per tahun mencapai 4,7 juta pekerja (tumbuh 3,4%).
Hal ini tercermin dari kontribusi PPh para karyawan (PPh Pasal 21). Pada 2022, PPh Pasal 21 naik Rp24,5 triliun (tumbuh 16,3%). Rata-rata kenaikan PPh Pasal 21 tiap tahun pada 2023-2024 diharapkan mencapai Rp33,2 triliun (tumbuh 19,35%).
Fasilitas Fiskal 2025
Insentif perpajakan 2025 telah disiapkan demi menjaga momentum mendorong daya beli dan daya saing usaha. Estimasi fasilitas perpajakan tahun depan mencapai Rp445,5 triliun atau setara 1,83% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut terdiri atas Rp265,6 triliun insentif PPN, Rp144,7 triliun fasilitas PPh, serta Rp35,2 triliun untuk kemudahan jenis pajak lainnya.
Pendetailannya adalah sebagai berikut: sekitar Rp209,5 triliun (47,0%) untuk mengerek kesejahteraan rumah tangga; Rp137,4 triliun (30,8%) untuk menyokong dunia bisnis dan menyuburkan iklim investasi; serta Rp98,6 triliun (22,1%) guna mengembangkan UMKM.
Insentif PPN senilai Rp265,6 triliun itu diperinci sebagai berikut. PPN dibebaskan untuk bahan makanan sebesar Rp77,1 triliun. Untuk mendukung UMKM, tersedia Rp61,2 triliun PPN tidak dipungut untuk pelaku bisnis dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 miliar setahun. PPN dibebaskan untuk sektor transportasi juga dialokasikan Rp34,4 triliun. PPN dibebaskan atas jasa pendidikan dan kesehatan juta disiapkan Rp30,8 triliun. Sebanyak Rp27,9 triliun disiapkan untuk PPN dibebaskan atas jasa keuangan dan asuransi. Tersedia pula Rp15,7 triliun insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor properti dan otomotif. PPN dibebaskan atas listrik dan air bakal mencapai Rp14,1 triliun. Sisanya Rp4,4 triliun untuk insentif sektor lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir akan penyesuaian tarif PPN. Berkaca dari pengalaman sebelumnya pada 2022, serta stimulus fiskal yang dirancang untuk 2025, pemerintah telah menyusun kebijakan fiskal yang tepat agar perekonomian kita semakin tangguh.
Selanjutnya: Soal Nasib Sritex, Menperin: Pemerintah Pastikan Going Concern Tetap Terjaga
Menarik Dibaca: Sambut Nataru, Tiket Direct Train Sudah Bisa Dipesan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Editor: Ridwal Prima Gozal