KONTAN.CO.ID - Wacana implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) Satu Ruang Perawatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) kembali menjadi pembahasan hangat dalam pertemuan antara Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Forum Jaminan Sosial (Forum Jamsos) pada Rabu, 21 Mei 2025. Pertemuan yang berlangsung di Jakarta ini menjadi ajang diskusi mendalam, di mana Forum Jamsos menyampaikan keberatannya terhadap usulan KRIS, dengan berdasarkan aspek keadilan.
Pertemuan penting ini dihadiri oleh Ketua DJSN, Nunung Nuryartono, dan Ketua Koordinator Forum Jamsos, Jusuf Rizal.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua DJSN Nunung Nuryartono menjelaskan, DJSN telah menerima aspirasi penolakan terhadap Peraturan Presiden (PP) Nomor 59 Tahun 2024 yang mengatur penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam layanan BPJS Kesehatan. Hal ini nantinya akan disampaikan kepada BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan instansi lainnya. Namun, ia belum dapat mengonfirmasi waktu penyampaiannya.
Lebih lanjut, Nunung menegaskan DJSN sebagai lembaga yang diberi mandat oleh undang-undang siap menampung aspirasi dari pemangku kepentingan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas sistem perlindungan sosial, termasuk layanan kesehatan nasional.
"Ada hal-hal pokok yang disampaikan oleh teman-teman, termasuk penolakan Pasal 46 ayat 7 terkait pelaksanaan KRIS satu ruang rawat inap," kata Nunung kepada Kontan di Jakarta, pada Rabu (21/5/2025).
Di sisi lain, Ketua Koordinator Forum Jamsos Jusuf Rizal menyatakan Forum Jamsos menolak konsep KRIS karena bertentangan dengan prinsip keadilan. Untuk itu, Jusuf berharap kepada Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Kesehatan untuk mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang menyangkut jaminan sosial.
Berdasarkan analisa Tim Forum Jamsos, belum ada kesepakatan penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan, sehingga rencana penerapan KRIS pada 1 Juli 2025 dinilai tergesah-gesah. Penerapan itu juga dapat menurunkan jumlah ruang perawatan dan jumlah tempat tidur. Hal ini akan berimbas pada semakin sulit mengakses layanan ruang perawatan bagi pekerja atau buruh yang terdaftar di JKN.
"Kita menolak terhadap ide gagasan KRIS ini satu ruang perawatan yang bertentangan dengan prinsip keadilan buat kita," ujar Jusuf.
Ketua Institute Hubungan Industrial Indonesia Saepul Tavip menilai kebijakan tersebut menimbulkan kerugian di kalangan buruh. KRIS Satu Ruang Perawatan dapat menambah biaya kelas naik perawatan karena pekerja atau buruh harus membayar biaya selisih perawatan.
Tak hanya itu, masih banyak RS belum merenovasi ruang perawatan. Hal ini juga merugikan BPJS Kesehatan karena bisa menurunkan jumlah rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Saepul pun mengingatkan pemerintah untuk segera merevisi pasal 103B ayat (1) Perpres 59 tahun 2024 yang mengamanatkan penerapan KRIS secara menyeluruh paling lama 30 Juni 2025.
"Implikasinya luar biasa terhadap kalangan buruh yang selama ini berada di kelas 1 dan kelas 2. Kalau disamaratakan nanti itu akan mengalami downgrade. Untuk itu, kalo bisa pemerintah menunda KRIS sebelum 1 Juli 2025," kata Tavip.
Selanjutnya: Rupiah Menguat pada Rabu (21/5), Terangkat Sentimen Pemangkasan BI-Rate
Menarik Dibaca: APJATI Tegaskan Pentingnya Jalur Resmi untuk Pekerja Migran di Arab Saudi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Editor: Indah Sulistyorini