kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.204   62,76   0,88%
  • KOMPAS100 1.106   11,08   1,01%
  • LQ45 878   11,31   1,31%
  • ISSI 221   1,16   0,53%
  • IDX30 449   6,13   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,20   0,97%
  • IDX80 127   1,37   1,09%
  • IDXV30 135   0,73   0,54%
  • IDXQ30 149   1,60   1,08%
ADV /

Pemulihan Ekonomi Mulai Bergulir, Keyakinan Investasi Semakin Besar


Kamis, 18 Maret 2021 / 15:09 WIB
Pemulihan Ekonomi Mulai Bergulir, Keyakinan Investasi Semakin Besar
Kontan bekerjasama dengan PT Manulife Aset Manajemen Indonesia menyelenggarakan Kontan Webinar bertajuk ?Investasi: Penggerak Pertumbuhan Masa Depan Ekonomi Indonesia?.

Jakarta. Tanpa terasa tahun 2021 ini sudah menginjak di bulan ketiga. Sepanjang tahun ini, penduduk dunia menaruh harap besar akan adanya pemulihan dari hantaman badai Covid-19 yang tahun lalu mendera banyak negara.

Menginjak Maret ini pula, keyakinan akan adanya pemulihan semakin tebal. Pasalnya, program vaksinasi di sejumlah negara sudah terlihat lancar. Implikasi yang diharapkan adalah pemulihan yang cepat pada perekonomian. 

Untuk melihat kondisi terkini dan sektor-sektor potensial dari kacamata investasi masa mendatang,  Kontan bekerjasama dengan PT Manulife Aset Manajemen Indonesia menyelenggarakan Kontan Webinar bertajuk “Investasi: Penggerak Pertumbuhan Masa Depan Ekonomi Indonesia”.  Terselenggara pekan lalu, Webinar ini diikuti lebih dari 100 investor dalam negeri.

Ekspektasi positif memang sudah terlihat baik pada skala global maupun regional. Dari pasar global, sentimen positif yang kuat sudah terlihat di Amerika Serikat (AS). Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Management Indonesia  menjelaskan, baru-baru ini ekspektasi terhadap investasi di AS meningkat tajam. Vaksinasi yang berjalan cepat dan adanya persetujuan paket stimulus senilai US$1,9 triliun dari Congress mendorong terciptanya ekspektasi bahwa pemulihan ekonomi negara adidaya ini akan terjadi lebih cepat.  Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa inflasi akan meningkat tajam.  Akibatnya imbal hasil surat berharga pemerintah AS melonjak.  Namun perkiraan lonjakan inflasi tersebut terlihat tidak berdasar.

Apalagi, The Fed masih menunjukkan kebijakan yang akomodatif yakni dengan menjaga suku bunga tetap rendah. Bank sentral AS itu juga tidak menaruh kekhawatiran akan adanya kenaikan inflasi. ”Secara umum inflasi pada paruh pertama di AS, sudah diperkirakan meningkat karena inflasi pada semester pertama 2020 sangat rendah. Tapi, untuk paruh kedua tahun ini inflasi akan turun ke arah yang lebih moderat,” jelas Katarina.

Lantas, seiring dengan membaiknya kondisi AS, apakah ada potensi taper tantrum, yang mengakibatkan dana keluar dari emerging market dan kembali ke AS? Asal tahu saja, taper tantrum ini juga pernah terjadi pada 2013 karena program pembelian aset atau quantitative easing oleh The Fed dikurangi, dan mengakibatkan dana asing keluar dari Indonesia.

Menjawab hal itu, Katarina pun meyakinkan bahwa The Fed memberikan konfirmasi tidak akan mengurangi atau menghentikan kebijakan quantitative easing  dalam waktu dekat.  Lagipula, saat ini kondisi negara-negara di Asia sangat jauh berbeda dibandingkan dengan taper tantrum pada 2013, sehingga jauh lebih siap seandainya pengurangan quantitative easing dilakukan. Misalnya, neraca transaksi berjalan di Asia itu saat ini jauh lebih baik dibanding 2013. “Untuk Indonesia, defisit neraca berjalan pada 2013 itu -3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan sekarang -1,3%. Inflasi waktu itu 6,4%, sekarang hanya sekitar 1,5%. Jadi sekarang jauh lebih baik,” terang Katarina.

Penggerak pertumbuhan masa depan ekonomi Indonesia

Peluang Asia dan Indonesia

Di lain pihak, pemulihan ekonomi yang sudah terjadi di beberapa negara dunia ini membawa keuntungan bagi negara-negara Asia. Sebab, kondisi ini mendorong peningkatan ekspor.

Kenaikan ekspor ini juga membuat kegiatan manufaktur meningkat, terlihat dari skor PMI Manufaktur yang terus membaik.  “Ini memperlihatkan adanya pemulihan global yang menguntungkan Asia, termasuk Indonesia,” kata Katarina.

Apalagi pemulihan global ini juga ikut mendukung kenaikan harga beberapa komoditas. Sebut saja, harga Crude Palm Oil (CPO) dan batubara yang mengalami kenaikan lantaran permintaan mulai mengalir deras. Tak ketinggalan, harga nikel juga meningkat cukup tinggi karena tingginya permintaan kendaraan listrik dan baterai. 

Sementara itu, meski indeks komoditas meningkat, inflasi juga masih tetap terjaga. “Inflasi tak akan keluar dari rentang perkiraan BI sekitar 2%-4%, karena tingkat pengangguran juga belum turun mencapai target yang diinginkan,” jelas Katarina.

Pun demikian dengan nilai tukar rupiah yang tetap relatif stabil dalam kondisi pandemi. Selain defisit neraca berjalan menyusut, cadangan devisa Indonesia saat ini mencapai rekor tertinggi, yakni mencapai US$138 miliar. Menurut Katarina, cadangan devisa ini cukup membiayai impor selama lebih dari 10 bulan. “Ini meningkatkan kapasitas Bank Indonesia (BI) untuk menjaga kestabilan rupiah,” ujarnya.

Keyakinan investasi pun semakin didukung oleh oleh kondisi likuiditas yang berlimpah. Keberlanjutan program-program stimulus, baik fiskal maupun moneter juga bisa memperkuat keyakinan pasar akan kondisi perekonomian Indonesia yang lebih baik. Sebagai stimulus moneter, BI juga terus memangkas suku bunga.

Sementara, pemerintah juga tetap meningkatkan stimulus fiskal melalui anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang angkanya lebih besar 21% dari realisasi tahun lalu, sebesar Rp699 triliun. Demikian juga anggaran kesehatan 2021 sebesar Rp178 triliun diharapkan bisa membiayai program vaksinasi gratis untuk seluruh rakyat Indonesia.

Tak berhenti di situ, pemerintah juga meluncurkan kebijakan stimulus sektoral, yaitu relaksasi uang muka (down payment ) untuk sektor properti. Di sektor otomotif ada pemotongan PPnBM untuk mobil.

Gairah pasar finansial

Adanya berbagai sentimen positif ini tentu saja juga ikut menghembuskan angin segar bagi pasar finansial Indonesia. Meski masih mencatatkan kinerja negatif di awal tahun, namun potensi pasar obligasi masih terlihat menarik. Katarina bilang, spread antara US Treasury dan Government Bond masih sangat lebar. Selain itu, kepemilikan asing juga rendah, yakni hanya sekitar 24%. Alhasil, tekanan jual dari investor asing mereda.

Demikian pula yang terlihat pada pasar saham. Valuasinya masih terhitung rendah, bahkan salah satu yang terendah di Asia. Selain itu, jangan lupakan nantinya bakal ada katalis yang sangat besar, yaitu IPO dari sektor ekonomi baru, seperti Tokopedia dan Gojek yang diperkirakan akan terjadi di paruh kedua tahun ini.

Pasar finansial Indonesia nanti juga akan terungkit dari meningkatnya realisasi investasi. Realisasi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri pada tahun 2020 telah melebihi target, dan tahun ini diharapkan bisa mempercepat pemulihan ekonomi.

Kesiapan sektor ketenagakerjaan

Tak bisa dipungkiri, sektor ketenagakerjaan juga mengalami dampak dari pandemi Covid-19. Pandemi menyebabkan adanya penurunan produktivitas dan gangguan pelayanan di berbagai sektor usaha dan pelayanan. Terjadi pula perubahan tingkat permintaan barang dan jasa, serta penurunan persediaan logistik maupun jasa.

Ketidakhadiran pekerja/buruh sebagai dampak pandemi juga menjadi kendala besar bagi dunia usaha. Khususnya, mereka yang diperlukan untuk mengoperasikan mesin. Hingga pada akhirnya, pandemi juga mengakibatkan adanya penutupan beberapa perusahaan dan pemutusan hubungan kerja.

Berbagai dampak pandemi ini ikut menumbuhkan tingkat pengangguran, meski ada pertambahan lapangan kerja dari sektor pertanian dan juga informal. Oleh karena itu, pemerintah juga terus berupaya untuk terus meminimalkan dampak yang terjadi. “Pemerintah banyak melakukan intervensi agar industri atau sektor ketenagakerjaan ini bisa bangkit, paling tidak bertahan,” ujar Haiyani Rumondang, Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

Intervensi yang dilakukan pemerintah melalui berbagai aturan. Seperti PP No. 49 tentang Penyesuaian Program BPJS Ketenagakerjaan. “Karena kita tahu tidak boleh pelayanan terhenti tapi iuran tetap harus jalan. Pemerintah memberikan relaksasi hanya membayarkan iuran sekitar 1%, yang akan mengurangi beban pengusaha tetapi tidak mengurangi manfaat,” jelas Haiyani.

Selain untuk kesehatan dan keselamatan para pekerja, lewat aturan-aturan itu pemerintah juga ingin menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan usaha dalam rangka pencegahan dan perlindungan terhadap Covid-19 .

Untuk makin menyejukkan iklim investasi, lewat UU Cipta Kerja, pemerintah juga terus menyempurnakannya dengan menerbitkan sejumlah peraturan. “Intinya apa yang dijadikan kebijakan pada sektor tenaga kerja ini, pada intinya adalah memikirkan kedua belah pihak,” terang Haiyani.

Potensi sumber daya mineral dan energi

Kondisi industri pertambangan di Indonesia ibarat gadis cantik dan menarik, tapi belum banyak jodoh yang mendekat karena ada rasa takut terhadap mahar yang tinggi. Hal itu terlihat dari mineral potential index dan mineral perception index Indonesia yang sangat menonjol. Indonesia menduduki posisi tiga dari 76 negara. “Sayangnya, index daya tarik investasi negara kita ada di tengah-tengah,” ujar Djoko Widajatno, Deputy Executive Director at Indonesia Mining Asociation.

Persepsi kebijakan ini menggambarkan besarnya potensi pertambangan Indonesia, namun iklim investasinya masih rendah. “Secara potensi, Indonesia memiliki cadangan yang besar, yaitu batubara sebanyak 399 miliar ton, bahkan potensi mineral lainnya, seperti emas, tembaga, timah dan nikel di Indonesia merupakan yang terbesar dibandingkan negara lain. Bahkan menjadi buruan dunia,” jelas Djoko. 

Nah, jika iklim investasi semakin baik, itu artinya potensi dari industri tambang ini sangat besar. Karena pemulihan ekonomi global yang menggerakkan berbagai industri, akan memajukan pertambangan. “Industri butuh barang tambang,” kata Djoko. Selain itu, harga komoditas tambang juga melambung mengikuti pergerakan dunia industri.

Apalagi jika nantinya industri baterai dan kendaraan listrik sudah berjalan, hasil investasi tambang ini bisa diserap oleh industri yang ada. Seperti yang terjadi saat ini, nikel menjadi buruan seiring kian ramainya  produksi kendaraan listrik dan baterai. Cadangan nikel di Indonesia pun cukup besar untuk menopang industri dalam negeri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Reporter: Adv Team
Editor: Indah Sulistyorini

TERBARU

×