kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
ADV /

Outlook 2024: Membangun Optimisme di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global


Selasa, 05 Maret 2024 / 09:00 WIB
Outlook 2024: Membangun Optimisme di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Global
Dok. KONTAN

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2024 merupakan tahun yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Mulai dari  Pemilihan Umum (Pemilu) yang baru saja berlangsung dan masih menyisakan riak politik, hingga kondisi ekonomi global yang masih terlihat belum pulih sejak pandemi Covid-19 mendera perekonomian banyak negara di dunia.

Kendati ketidakpastian masih menghantui perjalanan sepanjang 2024 ini, namun optimisme harus tetap dibangun oleh para pemburu cuan. Optimisme ini juga yang menjadi pegangan dan semangat KONTAN untuk menggelar event Outlook Saham 2024: Meneropong Saham Unggulan di Tahun Politik pada Kamis, 29 Februari 2024. Pada Outlook Saham ini yang menjadi agenda rutin media ekonomi, bisnis dan investasi Kontan ini mendapat dukungan dari PT Bank Central Asia Tbk (BCA).

David Sumual, Ekonom BCA menjelaskan, ada empat faktor yang menjadi lika-liku tantangan global yang harus dicermati oleh para investor sepanjang 2024. Pertama, suku bunga tinggi yang masih terjadi di negara-negara seperti Jepang, sejumlah negara di Eropa dan Amerika Serikat.

Kedua, kondisi perekonomian Tiongkok yang masih lesu. Bahkan, sudah dua tahun ini ekonominya melambat dan menekan pada harga komoditas. Sektor properti yang menyumbang 30% ekonomi China, kondisinya juga menurun.

Ketiga, krisis iklim yang mengakibatkan kemarau panjang dan kelangkaan pangan. Kondisi ini sekaligus memicu kenaikan harga bahan pangan.

Keempat ketegangan geopolitik. David lebih menekankan soal ketegangan politik yang tak kunjung usai. “Kelihatannya belum mereda sampai akhir 2024,” terang dia.

Dalam jangka pendek kondisi geopolitik ini menjadi tantangan yang paling serius. Sebab, bisa menimbulkan berbagai dampak ekonomi. David pun menyebut, ada empat tokoh sentral, yakni pemimpin dari empat negara yang punya posisi menentukan dan saling tarik-menarik karena masing-masing punya kepentingan.

Pertama, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman Al Saud dan Presiden Rusia Vladimir Putin yang ingin harga minyak selalu lebih tinggi karena Arab Saudi dan Rusia adalah penghasil komoditas energi. Namun, mereka juga tidak ingin harga terlalu tinggi karena berdampak ke pertumbuhan ekonomi  yang lebih rendah.

Di lain pihak, ada Joe Bidden, Presiden Amerika Serikat (AS) yang dua tahun terakhir menggelontorkan strategi petroleum reserve. Bahkan, saat ini posisi terendah dalam sejarah yakni 30 hari.

Tujuannya supaya inflasi turun. Selain itu, Bidden juga membatasi permintaan dengan menarik likuiditas dengan mengerek suku bunga. “Saat ini, suku bunga mereka 5,5%, ini salah satu posisi tertinggi dalam 10 tahun terakhir,” kata David.

Kondisi ini bisa menurunkan harga komoditas lantaran mata uang dollar AS masih menjadi likuiditas utama global. “Jika likuiditasnya ditarik, peluru untuk membeli produk komoditas akan berkurang,” jelasnya.

Terakhir, Presiden China Xi Jinping ingin permintaan meningkat karena China masin menjadi factory of the world. “Jinping tentu ingin mendorong ekonomi dan menjadi satu-satunya negara yang memberi stimulus,” kata David. Pemerintah China banyak memberikan stimulus ke sektor manufaktur yang berkaitan dengan energi terbarukan, hingga membuat pasokan berlimpah.  

Satu hal lagi yang menjadi perhatian adalah Pemilu di AS pada 5 November 2024. Di sini akan terlihat garis kebijakan yang berbeda antara Biddennomics (Demokrat) dan Trumponomics (Republik).

Biddenomics ingin menggelontorkan infrastruktur energi bersih dengan anggaran US$ 450 miliar. Sementara Trump lebih intervensi ke energi fosil, seperti batubara, industri nuklir dan pipa minyak. Dari sisi perdagangan Trump juga akan merapkan tarif tinggi untuk produk-produk China.

Pada faktor ketegangan politik, selain ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan serta konflik Israel dan Hamas, muncul pula ketegangan dari Houthi, pemberontak Yaman. “Serangan Houthi mengalihkan jalur pengiriman yang berakibat kenaikan indeks harga pengiriman container, dry bulk dan tanker, bukan hanya ke Eropa tapi juga ke AS,” terang David. Akibat penutupan Selat Bab al-Mandab, selain waktu tempuh yang lama juga butuh kapal lebih banyak lagi.

Lantas, dengan berbagai tantangan ini apakah ada kemungkinan suku bunga akan terus mendaki atau justru menurun? Kendati pasar berekspektasi suku bunga akan turun 150 basis poin di pertengahan tahun, David mengatakan, soal perubahan suku bunga ini sangat tergantung oleh tarik-menarik kepentingan antara empat tokoh sentral di atas.

Meski begitu, David melihat sejauh ini ekonomi dunia mengarah ke soft landing dengan langkah The Fed menurunkan suku bunga karena hinger for longer rentan memicu krisis.

Suku Bunga Turun

Sementara kondisi ekonomi global penuh ketidakpastian, Indonesia masih menunjukkan perekonomian yang kokoh. Kekuatan yang ada di internal melindungi ekonomi Indonesia dari masalah eksternal. Pertumbuhan ekonomi tetap kuat. Hal ini terlihat dari berbagai indikator, mulai dari rata-rata kontribusi ekspor/PDB sekitar 23,5%, besarnya pasar domestik yang ditunjukkan oleh rata-rata kontribusi konsumsi/GDP  52,7%, dan surplus neraca dagang.

Selain itu, rupiah juga cukup stabil. Kepemilikan asing obligasi pemerintah pun menurun menjadi 14,8% (per Januari 2024), inflasi cukup terkendali sebesar 2,57% (per Januari 2024). Kondisi perbankan juga kuat. “Permodalan perbankan kuat (CAR) sebesar 27,7%,” kata David.

Namun yang perlu diperhatikan adalah progres pemerintahan baru dan pencarian sumber dananya. Jika defisit anggaran melebar untuk membiayai program, bisa memicu kenaikan premi risiko Indonesia.

Dan, setelah mencermati kondisi ekonomi Indonesia yang cukup kuat, David optimis outlook 2024 kebanyakan sektor mulai membaik. Dalam pandangan perbankan sejumlah sektor yang punya risiko rendah diantaranya jasa usaha, makanan pokok, makanan dan minuman, media informasi, telekomunikasi, transportasi, logistik, kemasan, pariwisata dan restoran. Sementara, sektor yang paling beresiko adalah tekstil.

Praktisi Pasar Modal Hans Kwee melihat, tahun ini orang cenderung lebih hati-hati, karena 2024 merupakan tahun politik dunia. Dia menyebut, ada 57 negara yang menyelenggarakan Pemilu dengan melibatkan 49% populasi di dunia dan 60% Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.

Kwee memprediksi, pasar saham pasar saham Indonesia lebih naik di semester II, terutama jika The Fed sudah memastikan akan memotong suku bunga. “Kalau The Fed bisa memotong 75 basis poin, mungkin Bank Indonesia akan memotong 50 basis poin. Baru pada 2025, The Fed mungkin memotong 100-150 basis poin,” jelasnya.

Saham-saham yang berpeluang prospektif, yaitu yang terkait dengan ekonomi lokal, diuntungkan jika bunga turun serta saham-saham yang selama ini menjadi favorit asing. Ambil contoh, saham bank dan properti. Selain juga saham konstruksi terkait IKN, saham semen, infrastruktur dan kawasan industri. Tapi tak lupa Kwee menambahkan catatan kondisi politik tidak bergejolak.

Saham tambah terkait nikel dan logam juga berpeluang diuntungkan dengan kebijakan hilirisasi. Lalu, saham energi dan energi terbarukan juga menarik untuk dilirik.

Selanjutnya: Inilah Emiten Jumbo yang Menggaet Pendapatan Ratusan Triliun

Menarik Dibaca: Tak Hanya Trendi, Ini 6 Manfaat Pound Fit Buat Kesehatan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Reporter: Adv Team
Editor: Indah Sulistyorini


×