KONTAN.CO.ID - PT Kereta Commuter Indonesia atau KAI Commuter berkomitmen untuk mengurangi pelecehan seksual di kereta. Direktur Utama KAI Commuter Asdo Astriviyanto menjelaskan, selain personel keamanan, KAI Commuter juga sudah memasang alat pendeteksi wajah untuk menganalisa muka pelaku pelecehan seksual di kereta Commuter Line.
Menurutnya, masalah pelecehan seksual di kereta menjadi perhatian serius bagi KAI Commuter dalam memberikan transportasi umum dan nyaman kepada pengguna. Untuk itu, KAI Commuter memiliki langkah penanganan kejadian pelecehan seksual.
“Ada empat penanganan, yaitu laporan pengguna, retensi (dialog), CCTV analytic, dan pengamanan,” jelas Asdo dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Transportasi Publik Tanpa Kekerasan Seksual : Commuter Line Ciptakan Ruang Tanpa Rasa Takut” di Menara Kompas Jakarta pada Kamis, 31 Juli 2025.
Selain itu, KAI Commuter akan mem-blacklist atau memblokir pelaku pelecehan seksual untuk masuk ke dalam stasiun atau rangkaian kereta. Asdo menambahkan, hal ini dibutuhkan juga partisipasi masyarakat untuk ikut melapor ketika melihat atau menjadi korban pelecehan seksual.
Dalam survey Kompasiana dan KAI pada 25-26 Juni 2025, disebutkan bahwa 88% dari 500 responden pernah mengalami kekerasan seksual di transportasi umum. Selain itu, sebanyak 84% responden juga pernah mendengar kasus kekerasan seksual di transportasi umum.
Dalam hal potensi korban pelecehan, sebanyak 500 responden menganggap 71% perempuan berpotensi menjadi korban dan laki-laki sebanyak 3%. Sementara itu, 26% responden menganggap semua berpotensi menjadi korban pelecehan.
Selain itu, kepadatan penumpang juga menjadi faktor utama pelecehan seksual dengan persentase 35%. Di sisi lain, sebanyak 29% menganggap pelecehan seksual dapat dicegah oleh diri sendiri. Kemudian pencegahan dari masyarakat umum sebanyak 23%, pengelola transportasi 20%, aparat kepolisian 15%, pemerintah 12%, dan lainnya 1%.
Berdasarkan survey tersebut, Asdo menegaskan KAI Commuter siap memberi perlindungan bagi korban berupa menjaga privasi korban hingga pemulihan psikologi. “Laporkan saja kepada petugas stasiun atau kepala stasiun. KAI Commuter siap membantu sampai pemulihan psikologi kepada korban,” ungkap Asdo.
Sementara itu, VP Customer Care PT Kereta Api Indonesia atau KAI Dian Anggraheni Puspitasari mengungkapkan, KAI turut berkomitmen dalam mencegah kekerasan seksual di kereta. Karena berbeda volume penumpang, jenis pelecehan penumpang di KAI lebih mengarah pada ketidaknyamanan. Penumpang perempuan biasanya risih pada kondisi tertentu, contohnya tangan pria yang sudah mengarah ke area sensitif wanita.
“Ada kontak fisik yang tidak menyenangkan dan tidak nyaman,” jelas Dian.
Untuk mengurangi hal tersebut, KAI membuat fitur bernama Female Seat Maps. Dian menjelaskan, fitur ini dapat membantu penumpang wanita mengetahui kursi mana yang sudah diisi oleh penumpang wanita lainnya. Biasanya kursi yang sudah diisi penumpang wanita lain ditandai dengan warna pink.
Selain itu, KAI aktif memberikan sosialisasi melalui sosial media maupun di stasiun. Dian menambahkan, sosial media KAI selama ini menjadi kekuatan KAI karena di sana banyak pengguna kereta KAI mengadukan laporan. Berdasarkan laporan tersebut, petugas kereta dan polisi khusus kereta api (Polsuska) akan bertindak cepat dalam menangani pelecehan seksual di lingkungan stasiun dan kereta.
Di sisi lain, Komisioner Komisi Nasional Perempuan Daden Sukendar menyebut masalah pelecehan seksual di kereta bukan masalah jumlah, tapi masalah martabat manusia. Jika sudah berada di kereta, laki-laki dan perempuan sudah bermitra atau setara. Oleh karenanya penting untuk menjaga martabat satu sama lain.
Dalam hal ini, KAI maupun masyarakat harus saling mendukung untuk memberantas pelecehan seksual di kereta. “Komnas Perempuan berkomitmen untuk terus bersama korban hingga mencapai kebenaran agar kejadian serupa tidak terulang lagi,” kata Kang Dasuk, sapaan Daden Sukendar.
Di sisi lain, pelecehan seksual di kereta memiliki dampak yang besar. Menurut psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum, memiliki dampak berupa trust issue keamanan di kereta dan stasiun. Jika tas digunakan di depan, bisa jadi hal itu menandakan ketidakamanan dalam kereta atau stasiun.
Tak hanya faktor keamanan, korban pelecehan seksual juga bisa terganggu, mulai dari pikiran, jam kerja, dan kesehatan. “Bayangkan ketika area yang sedang lindungi dimasuki orang. Kita dilecehkan, dipegang, disentuh atau apapun kejadiannya. Hal itu sangat menghancurkan kepercayaan diri kita. Kita jadi blank,” ujar Ika.
Meskipun begitu, ia tetap berterima kasih kepada KAI yang terus meningkatkan aspek keamanan, mulai dari CCTV dan penambahan petugas keamanan. “Kalau bisa, petugas kebersihan juga diberi pelatihan untuk memitigasi pelecehan seksual di kereta,” pungkas Nirmala.
Selanjutnya: Cek Penulisan Gelar DR, Dr, dan dr yang Benar dan Perbedaannya Sesuai KBBI
Menarik Dibaca: Hal yang Harus Disiapkan Sebelum Mengunjungi Singapura Untuk Pertama Kalinya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Editor: Ridwal Prima Gozal