kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.916.000   -27.000   -1,39%
  • USD/IDR 16.830   -10,00   -0,06%
  • IDX 6.400   -41,63   -0,65%
  • KOMPAS100 918   -5,59   -0,61%
  • LQ45 717   -5,96   -0,82%
  • ISSI 202   0,24   0,12%
  • IDX30 374   -3,30   -0,87%
  • IDXHIDIV20 454   -4,95   -1,08%
  • IDX80 104   -0,73   -0,70%
  • IDXV30 110   -1,18   -1,06%
  • IDXQ30 123   -1,18   -0,95%
ADV /

Dengan Pajak, kepada Rakyat Kita Berpihak


Kamis, 05 Desember 2024 / 10:27 WIB
Dengan Pajak, kepada Rakyat Kita Berpihak
ILUSTRASI. Insentif pajak dirasakan oleh sektor UMKM guna menggerakkan roda perekonomian.

KONTAN.CO.ID - Akhir-akhir ini marak diskusi publik soal perlu-tidaknya pemerintah mengatrol tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Jika pun perlu, apakah saat ini momen yang tepat? Undang-Undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengamanatkan bahwa per 1 April 2022, tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%, dan selanjutnya paling lambat 1 Januari 2025 kembali terkerek menjadi 12%.

Aspek legalitasnya memang mengatur seperti itu. Dan justru ini memang harus digarisbawahi dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja, karena jantung dari filosofi pemajakan adalah aspek legal itu tadi. Kita tidak boleh melupakan meletusnya Revolusi Amerika pada abad ke-18 yang bermula dari masalah pajak. Rakyat koloni protes semboyan “no taxation without representation” atau “taxation without representation is robbery”. Pada intinya, sebelum memajaki rakyatnya, pemerintah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari rakyatnya. Jika tidak, sama halnya negara merampok rakyatnya.

Hal itulah yang mendasari para founding fathers dalam merumuskan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Belakangan, beleid tersebut mengalami amandemen menjadi Pasal 23A yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Artinya, segala macam pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) harus punya dasar hukum berupa undang-undang. Mengapa harus undang-undang? Karena ia merupakan kontrak sosial yang disepakati antara pemerintah (eksekutif) dan wakil rakyat (legislatif).

Keberpihakan kepada rakyat memang hal lain yang tak kalah pentingnya dibanding aspek legal itu tadi, dan akan kita bahas di bawah ini. Apakah legalitas sebuah peraturan melulu bertolak belakang dengan keberpihakan, sehingga kita kudu mengesampingkan aspek legal formal demi mewujudkan keberpihakan? Atau justru sebaliknya, malah keduanya bisa berjalan beriringan?

Keadilan Pajak

Ihwal keberpihakan kepada rakyat, faktanya negara tak tinggal diam. Melalui instrumen ketentuan perpajakan, sejumlah pengaturan bertujuan untuk menjalankan fungsinya, yakni sumber penerimaan negara (budgetair), mengatur (regurelend), menjaga stabilitas perekonomian, serta redistribusi kesejahteraan rakyat.

Bagi orang pribadi, lapisan terbawah penghasilan kena pajak ditingkatkan dari Rp50 juta menjadi Rp60 juta setahun. Artinya, jika seorang lajang tanpa tanggungan berpenghasilan di bawah Rp5 juta sebulan, tidak dikenai pajak penghasilan (PPh). Sementara itu, diberlakukan lapisan penghasilan kena pajak tertinggi baru. Wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan kena pajak Rp5 miliar dikenakan tarif PPh 35%.

Wajib pajak orang pribadi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun tidak dikenakan pajak untuk omzet sampai dengan Rp500 juta dalam setahun. Berdasarkan PP 23/2018, pelaku UMKM juga dapat menikmati tarif PPh Final 0,5% atas omzet.

Pada masa pandemi Covid-19, pemerintah mengguyur sejumlah insentif pajak melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Agar daya beli masyarakat terjaga, para pemberi kerja diguyur PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP). Sehingga, para karyawan dapat menikmati gaji secara utuh. Realisasi fasilitas PPh Pasal 21 DTP pada tahun 2020 mencapai Rp1,71 triliun, melonjak drastis menjadi Rp4,34 triliun pada tahun 2021, dan melandai menjadi Rp2,11 triliun pada tahun 2022 seiring dengan pulihnya kondisi perekonomian lantaran pandemi semakin terkendali.

Skema DTP juga diterapkan terhadap PPh Final UMKM 0,5% berdasarkan PP 23/2018. Stimulus ini terserap pada tahun 2020 mencapai Rp671 miliar, meningkat menjadi Rp801 miliar pada tahun 2021, dan kemudian menurun menjadi Rp178 miliar pada tahun 2022.

Pajak juga hadir untuk menegakkan kemandirian anggaran. Tahun ini, penerimaan perpajakan (pajak, bea, dan cukai) ditargetkan terkumpul Rp2.309,86 triliun, dari keseluruhan penerimaan negara Rp2.802,29 triliun (82,43%). Angka tersebut meningkat pada tahun depan, yakni target penerimaan perpajakan dipatok Rp2.490,91 triliun untuk mengisi pundi total penerimaan negara Rp3.005,13 triliun (82,89%) (Sumber: UU APBN 2024 dan 2025, diolah).

Pada tahun ini, kebutuhan anggaran negara ribuan triliun rupiah itu untuk menjamin terselenggaranya program perlindungan sosial, antara lain Program Keluarga Harapan untuk 10 juta keluarga; Program Indonesia Pintar untuk 20,8 juta pelajar; Kartu Indonesia Pintar untuk 1,1 juta mahasiswa; subsidi BBM sebanyak 19,6 juta kiloliter; bantuan sosial sembako untuk 18,8 juta keluarga; subsidi bunga KUR untuk 6,1 juta debitur; dan lain-lain.

Mengapa PPN?

Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa PPN merupakan sumber penerimaan negara yang paling memungkinkan untuk dikerek. Di tengah tren penurunan tarif PPh Badan, PPN merupakan kompensasi yang paling cocok guna menyeimbangkan stabilitas sumber penerimaan di berbagai negara (Darussalam, 2024).

Menurut Gale (2020), PPN adalah jenis pajak paling anyar yang baru diterapkan beberapa dekade silam –sebelum kita mengenal pajak karbon, tentunya. Awalnya dianut oleh segelintir negara, saat ini PPN telah diterapkan oleh 168 negara secara meluas, dan anggota OECD menjaring lebih dari 20% penerimaan negara dari PPN. PPN juga cenderung jauh dari distorsi biaya, sebagaimana PPh. Oleh karena itu, PPN cenderung mudah untuk diadministrasikan.

Keen dan Lockwood (2010) menemukan bahwa PPN sangat penting dalam menyokong penerimaan negara-negara berkembang. Kenaikan penerimaan PPN berdampak pada pengumpulan penerimaan pajak yang semakin efektif sehingga mampu mendongkrak rasio pajak.

Namun, Gale (op cit) juga mewanti-wanti bahwa kenaikan PPN dapat memukul kelompok rentan seperti keluarga berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, terkereknya tarif PPN demi peningkatan penerimaan negara, juga harus dibarengi dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Pembebasan PPN untuk objek-objek tertentu dapat menjadi opsi yang tepat.

UU HPP Bab PPN sebenarnya telah mewadahi hal itu. Sejumlah barang dan jasa tidak dikenakan atau dibebaskan dari PPN. Misalnya, jasa tenaga kerja, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa transportasi, barang kebutuhan pokok seperti beras, gandum, susu, kedelai, telur, buku untuk pengetahuan umum dan mata pelajaran, dan sebagainya.

Momentum

Kita pun perlu melongok situasi April 2022, pada saat tarif PPN naik menjadi 11%. Pada bulan itu, laju inflasi masih cenderung terkendali, yakni 0,95%. Inflasi tahun ke tahun (year on year) April 2022 terhadap April 2021 tercatat 3,47%. Menurut kelompok pengeluaran, dua komponen yang berkontribusi paling besar terhadap inflasi adalah makanan, minuman, dan tembakau (0,46%), disusul transportasi (0,29%) (Badan Pusat Statistik, 2022, diolah). Padahal, sebagaimana diatur dalam ketentuan, bahan kebutuhan pokok termasuk pangan, dan jasa transportasi, bukanlah objek yang dikenakan PPN. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kenaikan tarif PPN bukan penyebab inflasi.

Kemudian, inflasi year on year (yoy) Desember 2022 terhadap Desember 2021 sebesar 5,51% (Badan Pusat Statistik, ibid). Catatan ini memuaskan, mengingat ekonomi kita berhasil tumbuh 5,31%. Menurut asumsi dasar APBN 2022, inflasi diharapkan pada kisaran 3% dan pertumbuhan ekonomi ditargetkan 5,2%. Kondisi kita lebih baik daripada negara barat yang mengalami inflasi yang lebih tinggi seperti Amerika Serikat (7,11%), Inggris (9,3%), dan Jerman (10,05%) pada tahun itu.

Bahkan, laju inflasi jelang akhir tahun ini tercatat paling rendah selama tiga tahun terakhir (Kontan, 3 Desember 2024). Inflasi yoy November 2024 terhadap November 2023 melorot di level 1,55%. OECD dalam publikasinya “Economic Surveys: Indonesia 2024” pun mengklaim bahwa Indonesia telah pulih sebagaimana sebelum pandemi seperti sedia kala.

Berkaca pada pengalaman 2022, kondisi perekonomian yang bangkit pasca-pandemi, serta kebutuhan anggaran untuk sejumlah program perlindungan sosial, penulis menyimpulkan bahwa penyesuaian tarif PPN berada pada momen yang tepat demi keberpihakan kepada rakyat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Reporter: Adv Team
Editor: Ridwal Prima Gozal

TERBARU

×