kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
ADV /

B20 Mendukung Peningkatan Mobilisasi Dana Swasta untuk Proyek Infrastruktur


Kamis, 24 November 2022 / 16:06 WIB
B20 Mendukung Peningkatan Mobilisasi Dana Swasta untuk Proyek Infrastruktur

KONTAN.CO.ID - G20 perlu berkolaborasi dengan Bank Pembangunan Multilateral (MDB), Lembaga Pembiayaan Pembangunan (DFI), dan lembaga terkait dalam upaya meningkatkan mobilisasi dana swasta secara signifikan untuk proyek infrastruktur melalui 1) penerapan blended finance, 2) meningkatkan fasilitas untuk mengurangi risiko nilai tukar mata uang asing di negara berkembang, dan 3) meningkatkan pengembangan proyek investment-ready yang dipersiapkan dengan baik.

MDB harus fokus pada mobilisasi dana swasta, sebagai sebuah strategi prioritas yang lebih diutamakan, dan pemegang saham mereka perlu mendukung penerapan prioritas tersebut dengan memungkinkan toleransi risiko yang lebih besar dalam neraca MDB, menyelaraskan insentif internal MDB dan Agenda tujuan pengembangan 2030 dengan prioritas ini, serta menerapkan kebijakan untuk memastikan bahwa MDB tidak crowd-out sektor swasta, atau melemahkan upaya sesama MDB dalam crowd-in dana swasta.

Untuk meningkatkan kelayakan proyek infrastruktur, negara-negara G20 perlu mengembangkan pipeline dari proyek-proyek siap investasi mereka, sesuai dengan prinsip G20 serta pertumbuhan gender dan sosial yang inklusif untuk membuat profil pengembalian risiko dari proyek-proyek infrastruktur yang mereka rencanakan menarik bagi investor komersial. Umumnya, negara-negara maju melakukannya dengan baik, sedangkan negara-negara berkembang masih memerlukan dukungan dari MDB.

Untuk meningkatkan iklim investasi di negara-negara G20, para pemerintah negara-negara G20 dengan dukungan MDB dan DFI, juga harus mengurangi hambatan pengembangan investasi dan pelaksanaan proyek infrastruktur seperti 1) persyaratan pembagian risiko dan pendapatan yang tidak jelas atau tidak menarik secara komersial, 2) risiko nilai tukar, 3) kurangnya proses pengadaan yang kuat, transparan, dan dapat dipertahankan, 4) kurangnya kerangka kontrak dan struktur dokumen yang kuat, 5) kurangnya keberlakuan kontrak, 6) risiko regulasi, dan 7) risiko sosial. Terlebih saat mengetahui bahwa ada banyak pemberi pinjaman yang hanya meminjam dalam mata uang dari negara-negara dengan ekonomi dan sistem politik yang stabil.

Selain itu, salah satu alasan utama dalam kekurangan pembiayaan untuk proyek infrastruktur di negara berkembang adalah pembiayaan pinjaman all-in yang lebih tinggi dalam mata uang lokal, biaya ekuitas yang lebih tinggi karena persepsi investor terhadap proyek dan risiko politik di negara tersebut, serta fakta bahwa banyak investor infrastruktur jangka panjang yang terbatas hanya di negara maju dan OECD. Hal ini menyebabkan kurangnya persaingan di pasar ekuitas negara berkembang dalam infrastruktur.

Kemudian, hambatan paling signifikan mengapa investasi infrastruktur di sektor swasta tidak berjalan pada skala yang diinginkan adalah karena keseimbangan antara risiko dan pengembalian bagi investor seringkali kurang optimal. Banyak proyek infrastruktur yang ditujukan untuk pembiayaan swasta tidak menawarkan profil pengembalian risiko yang menarik bagi investor swasta dan tidak akan layak jika dibiayai hanya dengan persyaratan pembiayaan komersial.

Perlu diketahui isu-isu tersebut telah dibahas sejak lama, namun kesenjangan infrastruktur terus melebar. Solusi teknis dipahami dengan baik tetapi masalahnya tidak diprioritaskan. Dua penyebab kesenjangan proyek infrastruktur seperti persiapan proyek yang buruk dan iklim investasi yang lemah dapat menahan investor. “Kami tengah mengeksplorasi strategi terbaik untuk mempersempit kesenjangan infrastruktur - kami menemukan bahwa kesenjangan infrastruktur terus tumbuh dan diproyeksikan mencapai USD 10,6 triliun di antara negara-negara G20 pada tahun 2040”, ujar Chair B20 Finance & Infrastructure Taskforce Ridha Wirakusumah saat dikonfirmasi oleh Kontan, pada 22 November 2022.

Lebih dari sebelumnya, jumlah modal sektor swasta yang tersedia jauh lebih besar daripada keuangan publik untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. Kesenjangan tidak hanya antara kebutuhan infrastruktur dan realisasi pembangunan infrastruktur, tetapi juga antara negara maju dan negara berkembang dalam hal ketersediaan dan kualitas infrastruktur, serta kemampuan dan kapasitas untuk mengembangkan dan memperoleh pembiayaan proyek infrastruktur.

“Untuk mengisi kesenjangan infrastruktur, kami telah mengajukan saran untuk menerapkan metodologi Five Case Model (5CM) dalam pengembangan pipeline proyek-proyek infrastruktur agar dapat menarik investasi sektor swasta”, sambung Ridha.

Metode ini sendiri pertama kali dikembangkan oleh Pemerintah Inggris dan telah digunakan oleh berbagai pemerintah selama sepuluh tahun terakhir. Sama halnya, metode ini juga telah diadopsi dan diikutsertakan dalam peraturan Pemerintah Indonesia, yang terdapat pada Peraturan Kepala Bappenas No. 2/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur, dan Peraturan Kepala Bappenas No. 2/2021 tentang Rancangan Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022.

5CM mencakup bagaimana meninjau proyek berdasarkan aspek strategis, ekonomi, komersial, keuangan, dan manajemen yang akan membantu memastikan pemerintah menyiapkan proyek untuk sukses dan menarik investasi internasional, memungkinkan penyampaian layanan publik yang berkelanjutan dan mengurangi kesenjangan investasi infrastruktur global.

Blended finance diakui secara luas sebagai cara yang berpotensi efektif untuk meningkatkan profil risiko-pengembalian transaksi dan membantu memobilisasi pendanaan sektor swasta. Hal ini dapat dilakukannya dengan memitigasi risiko investasi tertentu dan membantu menyeimbangkan kembali profil risiko-imbalan dari investasi swasta dalam proyek dengan menggunakan kumpulan dana publik atau konsesional yang terbatas. Blended finance juga dapat menjadi solusi untuk menurunkan all-in cost of financing untuk proyek infrastruktur hijau.

“MDB telah berperan dalam menyusun dan menerapkan blended finance. MDB dan DFI mewakili sumber pendanaan yang konsisten dan menonjol untuk transaksi blended finance, yang telah berpartisipasi dalam lebih dari 70% transaksi setiap tahun sejak 2015. Namun, jumlah aliran blended finance hanya rata-rata sekitar USD 9 miliar per tahun selama lima tahun terakhir,” tutupnya.

Sejatinya, pemerintah harus memahami bahwa bantuan dana dari penyokong dan lembaga pembangunan tidak akan efektif jika proyek infrastruktur tidak dipersiapkan dengan baik. Dengan demikian, pemerintah G20 harus fokus pada pengembangan rencana infrastruktur jangka panjang yang kuat, transparan, untuk memungkinkan investor memahami kebutuhan masing-masing negara dalam infrastruktur dan berpotensi mengusulkan proyek mereka kepada pemerintah. Hal ini juga akan membantu investor untuk merencanakan dengan lebih baik keterlibatan mereka dalam pembangunan infrastruktur di masa depan di negara masing-masing. Pemerintah G20 juga harus berkomitmen untuk mempersiapkan proyek infrastruktur mereka sesuai dengan Prinsip G20 untuk Tahap Persiapan Proyek Infrastruktur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Reporter: Adv Team
Editor: Indah Sulistyorini

TERBARU

×