KONTAN.CO.ID - Pandemi COVID-19 berdampak langsung dan tidak langsung pada anak serta remaja Indonesia. Perlu untuk menyisihkan pemikiran dan usaha untuk menanggulangi dampak pandemi terhadap tumbuh kembang anak dan remaja Indonesia. Pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan melalui vaksinasi COVID-19 bagi anak dan remaja usia 12- 17 tahun, namun permasalahan kompleks akibat COVID-19 perlu ditanggulangi bersama.
“Target capaian herd immunity kita bertambah dari sebelumnya 181,5 juta sasaran menjadi 208 juta sasaran karena sudah boleh memvaksinasi anak dan remaja usia 12-17 tahun,” ujar dr. Siti Nadia Tarmizi M.Epid, Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, dalam Dialog Produktif yang diselenggarakan KPCPEN dan ditayangkan di FMB9ID_IKP, Kamis (22/7).
Pelaksanaan vaksinasi dengan sasaran usia 12-17 dilaksanakan di fasilitas layanan kesehatan serta di sekolah-sekolah. “Kita bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk memberikan layanan vaksinasi. Distribusi vaksin yang saat ini dilakukan juga sudah termasuk untuk alokasi vaksinasi remaja kita,” tambah dr. Nadia.
dr. Nadia berpesan agar orang tua selalu menjaga anak-anak mereka melalui penerapan protokol kesehatan. “Artinya anak-anak jangan dihadapkan pada risiko penularan COVID-19 seperti dibawa melakukan perjalanan, diajak makan di luar rumah. Kita tahu risiko penularan itu sangat besar saat beraktivitas di luar rumah,” imbaunya.
Selain memprioritaskan hak untuk mendapatkan kesehatan, pemerintah juga terus mengupayakan agar anak-anak Indonesia mendapatkan hak pendidikan yang berkualitas, “Setelah situasi mereda, kita upayakan secepat mungkin agar sekolah segera melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas,” terang Jumeri STP. Msi., Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek.
Diakui Jumeri, pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di berbagai daerah sangat beragam. PJJ sangat dipengaruhi oleh akses pembelajaran secara online. Ada ketimpangan yang luar biasa antara daerah maju dengan daerah 3T. “Capaian pembelajaran anak-anak kita akhirnya memiliki kesenjangan. Jadi di rumah diharapkan orang tua untuk mendampingi putra-putrinya ketika belajar. Orang tua jadi teman ketika belajar. Jangan memerintah anak, tapi diajak untuk bekerja sama. Ini mengembalikan konsep pendidikan pertama ada di keluarga,” tambahnya.
Woro S. Sulistyaningrum, ST, MIDS., Direktur Bidang Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga Kementerian PPN/BAPPENAS juga menyoroti bahwa sering kali kita terjebak dengan anggapan, COVID-19 ini hanya berdampak pada orang dewasa. “Pada kenyataannya, anak-anak kita rentan sekali terpapar COVID-19. Dan dampaknya juga tidak hanya pada kesehatan tapi sosial ekonomi juga,” terangnya.
Lebih lanjut lagi, Woro menjelaskan bahwa ekonomi keluarga yang tertekan akibat pandemi mempengaruhi gizi anak-anak dan berpotensi menimbulkan stunting dan problem lainnya. “Berkaca di awal pandemi 2020 lalu, layanan imunisasi anak terhambat dan banyak pula masyarakat yang takut ke layanan kesehatan sehingga anak-anak tidak mendapatkan imunisasi lengkap,” tambah Woro.
“Selain fokus untuk keluar dari pandemi, penting juga kita memberikan imunisasi rutin kepada anak usia 18 bulan. Mulai dari imunisasi hepatitis B, BCG, PCV, campak dan rubella. Itu merupakan vaksin yang rutin kita berikan setiap tahunnya,” pesan dr. Nadia
Angga D. Martha, Spesialis Kebijakan Sosial UNICEF Indonesia juga turut menambahkan data. “Baru-baru ini UNICEF dengan Badan Kebijakan Fiskal baru saja meluncurkan risalah kebijakan mengenai dampak COVID-19 terhadap kemiskinan dan mobilitas anak. Jumlah anak dan remaja yang jatuh kepada kemiskinan lebih besar dari kelompok usia lain. 40% dari total jumlah anak di bawah 18 tahun di Indonesia, jatuh miskin di tahun 2020 karena terdampak berkurangnya pendapatan rumah tangga,” ujarnya.
Masih dalam kajian UNICEF, menyebutkan ada 25% dari rumah tangga Indonesia mengalami kenaikan biaya hidup yang mendorong rumah tangga mengurangi konsumsi dan biaya pendidikan. Ini mempengaruhi asupan gizi untuk anak-anak Indonesia. Pandemi yang mengisolasi interaksi sosial pada anak-anak juga memberi dampak terhadap tumbuh kembang mental anak, yang harus diselesaikan di masa pandemi.
Langkah Kemendibudristek untuk mengurangi risiko yang dihadapi oleh anak-anak adalah, menyegerakan PTM terbatas, tapi memang hal ini masih perlu mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan kondisi pandemi.
“Bagi sekolah-sekolah juga kami minta agar memanggil anak-anak yang paling rentan untuk ke sekolah dengan sangat terbatas guna mendapatkan bimbingan khusus. Kami juga menyederhanakan kurikulum agar beban belajar anak-anak kita tidak terlalu berat, sehingga hanya materi-materi yang paling esensial yang perlu diajarkan. Ketika nanti sudah bisa PTM Terbatas, guru-guru juga diharapkan membimbing orang tua mengenai langkah-langkah menangani putra-putri mereka di rumah, karena kita menyadari, tidak semua orang tua punya kemampuan mendampingi putra-putrinya di rumah,” tutup Jumeri.